Breaking News

ARTIKEL : PEREMPUAN DALAM KESETARAAN POLITIK

 


PEREMPUAN DALAM KESETARAAN POLITIK

Oleh : Dr. (c). Rahmawati, SH., M.Si

Dosen STIA Satya Negara


Di dalam sistem demokrasi, yang memegang prinsip kebebasan siapa saja bisa menjadi pemimpin dan berada didalam lingkungan parlemen atau menjadi eksekutif, jika dia memiliki suara maka seseorang tidak melihat apakah dia laki-laki atau perempuan, jika sudah dipilih rakyat dan terpilih maka dapat menjadi pemimpin atau anggota parlemen, namun terkadang perempuan enggan untuk maju dalam kontestasi politik yang ada di Indonesia. Ketika perempuan sedikit berada dalam legislatif maka keterwakilan dan pemikiran dari perspektif perempuan justru akan hilang dan tidak terwakilkan. Ketika laki-laki mendominasi di dalam legislatif maka akan timbul sebuah sistem sosial yang disebut patriarki. Sistem patriarki dalam dunia politik bisa saja terbentuk karena dalam sistem demokrasi rakyat lah yang menjadi penentu yang mengutamakan demokrasi dalam setiap mengambil keputusan.

Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayahdan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasiterhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua pemerintah di dunia agarmemberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan appointif (berdasarkanpenunjukan/pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.

Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, dan semua sektor  pembangunan di seluruh negeri. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, meskipun ada  kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas  sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik dan pengambilan keputusan terjadi di mana-mana. Perempuan baru pada tataran sebagai objek pembangunan belum menyasar sebagai pelaku pembangunan. Salah satu faktor yang menyebabkan lingkaran ketidakadilan gender ini berada pada tataran kebijakan yang masih bias gender.

Di dalam menjalankan sebuah sistem pemerintahan di suatu negara demokrasi, maka harus mewakilkan keterlibatan perempuan dan menyerap aspirasi dari seluruh aspek masyarakat karena pada dasarnya aspirasi yang disampaikan merupakan sebuah kebutuhan yang diharapkan rakyat kepada pemerintah demi kebaikan dan kemajuan bersama bangsa dan negara dan dalam mengambil sebuah keputusan negara harus memperhatikan dari berbagai aspek masyarakat dan tidak boleh memihak. Didalam sistem demokrasi Indonesia, suara rakyat diwakilkan oleh anggota legislatif atau anggota DPR. Jika didalam anggota legislatif keterlibatan perempuan masih kurang, maka bagaimana bisa suara dari kaum perempuan bisa terwakilkan, jika terjadi hal itu maka sistem patriarki akan terbentuk. Budaya patriarki ini harus dihilangkan dalam kehidupan masyarakat terutama dalam dunia politik, karena pada dasarnya semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan dan jabatan dalam kontestasi politik tanpa adanya legitimasi bahwasannya yang berhak untuk hal tersebut adalah kaum laki-laki. Keterlibatan perempuan dalam bidang politik harus diperjuangkan agar nantinya mampu mengimplementasikan kemampuan yang dimiliki dalam bidang politik, dengan tujuan agar nantinya terbentuk keseteraan gender dalam demokrasi yang mana jika demokrasi menggunakan kesetaraan gender atau gender democracy. 

Di Indonesia telah lama mengesahkan Undang-Undang terkait dengan Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan dalam UU No. 68 Tahun 1958, UU tersebut didalam mengatur terkait perwujudan kesamaan kedudukan atau non diskriminasi jaminan persamaan hak memilih dan dipilih jaminan partisipasi dalam perumusan kebijakan, kesempatan menempati posisi jabatan birokrasi, dan jaminan partisipasi dalam organisasi sosial politik.Landasan yang kuat juga ada dalam UUD 1945 yaitu pasal 28 H Ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.Ketentuan dalam UU maupun dalam UUD tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat bagi semua kalangan dan golongan baik laki-laki maupun perempuan bebas dari segala diskriminasi dan memiliki kesempatan yang sama baik dari segi aspek sosial, aspek kehidupan, maupun aspek politik. Jika dilihat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan: ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.” Dan juga di dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%. Pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwa :‟Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus)”. Namun pada faktanya, jika dilihat data di Komisi Pemilihan Umum, berdasarkan hasil pemilu tahun 2019, keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Nasional atau DPR RI berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI. Artinya amanat dari UU tersebut belum juga terpenuhi.

       Keterwakilan perempuan di DPR harus diiringi dengan sebuah pengawalan dan perjuangan yang berporos pada gender yang bisa berkelanjutan dama proses politik. Kurangnya kepercayaan dalam diri perempuan untuk bisa maju dan berpartisipasi dalam dunia politik, karena masih dipengaruhi oleh  norma  budaya dan masih melekatnya sistem budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat. Meskipun negara telah memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negaranya melalui amanat Undang-Undang, namun kaum perempuan merasa adanya sebuah diskriminasi secara tidak langsung yang mempengaruhinya dan masih kurang dipercayai untuk bisa ikut ambil dalam kontestasi politik, sehingga hal itu menyebabkan keterlibatan perempuan dalam politik masih rendah dan sebagian besar dalam dunia politik itu sendiri selalu di duduki oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan diharapkan bisa dipercaya dan diberi kesempatan untuk bisa duduk di legislatif sehingga nantinyta bisa tercipta sebuah sistem yang seimbang. Perempuan yang memiliki sifat yang lemah lembut harus diberi kesempatan yang sama dalam politik dan diberi kesempatan untuk bisa menjabat dan menduduki posisi strategis di dalam bidang politik, agar nantinya bisa mengeksploitasi dan mengimplementasikan kemampuan dan karakter dari perempuan itu sendiri sehingga nantinya melalui kepemimpinan perempuan bisa mensejahterahkan masyarakat melalui caranya.

Representasi perempuan dalam bidang politik boleh dikatakan masih jauh dari apa yang kita harapkan. Pendidikan politik merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi warga negara  yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.

Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik.

Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.

Kaum feminis yang menganut paham pluralisme demokratis meyakini bahwa perempuan tidak bisa dirugikan hanya karena jenis kelaminnya. Sebagai Manusia, perempuan juga butuh pengakuan atas eksistensi keperempuanannya. Gerakan feminis menentang pandangan stereotif yang berpotensi memarjinalisasi peran perempuan sebatas fungsi domestiknya, bukan dalam konteks kehidupan publik yang lebih luas. Kendati sistem dan arah kebijakan politik pemerintah terhadap isu perempuan kian responsif jender, namun posisi perempuan dalam konteks kekuasaan politik tetap saja rentan dari berbagai bentuk manipulasi politik dan tak jarang dipakai sebagai alat legitimasi politik. Asumsinya sederhana: perempuan adalah unit dasar dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian, kontrol atas peran perempuan merupakan instrumen efektif dalam mengendalikan seluruh operasi kekuasaan negara. Berbagai regulasi negara menyangkut isu perempuan membuktikan bahwa konstruksi budaya politik patriarki sepanjang sejarah amat menentukan kehidupan perempuan. Sejak dekade 1960-an, gerakan feminisme yang menggeliat di berbagai belahan dunia (termasuk di Indonesia pada dekade 1990-an), terus menggugat dasar kebijakan negara yang bias gjender, mendorong peran, fungsi, dan posisi perempuan secara lebih progresif, serta memprotes berbagai kebijakan konservatif negara dan stigma masyarakat yang memarjinalisasi aspirasi, hak, dan kepentingan perempuan.

Kaum feminis yang peduli pada pentingnya kesetaraan jender dalam membangun watak bangsa, menuntut perubahan yang progresif atas posisi perempuan, seperti tercermin dalam polemik isu poligami, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu hak-hak reproduksi perempuan, atau isu peraturan daerah tentang pelacuran. Menurut Gadis Arivia (2005), hampir seluruh regulasi negara yang terkait dengan soal perempuan mengandung materi bias jender. Sebab, dalam struktur masyarakat patriarkis, konstruksi sosial-budaya perempuan kerap digunakan sebagai alat legitimasi politik.

Dalam konteks demikian, tantangan fundamental gerakan perempuan ke depan, setidaknya dapat dipetakan ke dalam tujuh isu berikut: Pertama, globalisasi-neoliberal telah melahirkan kekuatan ekonomi dunia yang berpusat di negara-negara maju yang diikuti restrukturisasi ekonomi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Situasi ini telah menciptakan kemiskinan yang makin akut dan kompleks. Ekonomi global telah menyeret perempuan sebagai obyek dan komoditas ekonomi (menjadi PRT, PSK, buruh migran, atau pekerja upahan pabrik dan sektor informal bergaji murah). Kedua, otoriterisme politik negara. Kontrol negara atas warga negara yang berlebihan—terutama kaum perempuan—telah berakibat pada hadirnya berbagai kebijakan negara yang bias hak asasi manusia, bias jender, dan mereduksi hakekat demokrasi. Munculnya berbagai kebijakan bias jender (seperti RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi dan perda-perda di berbagai daerah yang berbasis pada penafsiran sempit atas agama tertentu), adalah sekelumit bukti bahwa implementasi atas hak-hak sipil dan politik perempuan belum sepenuhnya mendapat ruang gerak dari negara. Ketiga, kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Seperti kita tahu, manajemen anggaran negara (APBN/APBD), prioritas pembangunan, dan manajemen pengelolaan sumber daya alam di negara ini masih sepenuhnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan para politisi, elite-elite ekonomi, para investor, dan kepentingan modal global. Kebijakan yang tidak pro-poor ini telah mereduksi akses masyarakat—khususnya perempuan—di sektor pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sumber-sumber kehidupan publik yang mendasar (pangan, energi, air, tanah, dan hutan). Keempat, fundamentalisme agama. Berbagai gerakan agama yang disinyalir berupaya melakukan perlawanan terhadap hegemoni Barat dan dominasi kekuatan kapitalisme yang berpijak pada sikap dan aksi yang radikal, sempit, dan sepihak, telah menimbulkan ekses baru hadirnya rantai kekerasan dan penindasan bagi perempuan.

Munculnya organisasi-organisasi massa yang mengatasnamakan agama tertentu serta mewujudkan sikap dan aksinya dengan paham radikal seringkali menjadikan perempuan sebagai obyek kekerasan. Organisasi ini kerap membatasi ruang gerak dan ekspresi perempuan baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kelima, liberalisasi politik yang terjadi sejak era reformasi tidak otomatis diikuti kesiapan lembaga pendidikan dan rekrutmen politik, terutama partai politik, untuk secara serius dan berkelanjutan untuk membuka kesempatan partisipasi perempuan dalam politik, terutama untuk menempatkan perempuan dalam posisi dan tanggung jawab organisatoris yang signifikan, selain mempersiapkan dan menempatkan perempuan sebagai caleg yang andal dengan kesempatan yang sama dan setara dengan caleg laki-laki. Keenam, gerakan perempuan dengan demikian ditantang untuk mampu mendobrak lobi-lobi politisi laki-laki yang elitis dan budaya politik partai yang cenderung sentralistis dan patriarkat serta merubah budaya politik dan pola pikir jajaran elite partai agar memberi ruang dan peluang yang lebih besar pada kader politik perempuan untuk mendapat pelatihan dan edukasi politik, termasuk memberi kesempatan bagi perempuan untuk duduk dalam berbagai jabatan/posisi strategis serta dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Ketujuh,  meskipun kuota 30 persen sangat strategis, namun regulasi tersebut hanya salah satu elemen utama dalam upaya memperkuat representasi politik perempuan. Adalah saatnya, pasca pemilu 2014 kalangan perempuan wajib memperluas makna representasi politik tersebut. Keterlibatan perempuan dalam sistem politik untuk tujuan representasi memang diperlukan (necessary), tapi sudah pasti tidak memadai (sufficient). Ini artinya, upaya go politics dari kalangan perempuan tidak hanya sebagai kegiatan untuk memasuki proses, mekanisme, lembaga, dan sistem politik (crafting democracy) tapi juga bagaimana representasi politik perempuan mampu memperluas basis konstituen (broadening base).

Setidaknya terdapat dimensi utama dalam konteks di atas, yakni menyangkut upaya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan publik; dan usaha untuk membangun basis sosial representasi politik perempuan, baik melalui lembaga-lembaga representasi politik formal maupun informal, termasuk partisipasi langsung (direct democracy). Terdapat rekoneksi antara gerakan perempuan (sebagai bagian integral dari gerakan sosial), dengan aksi-aksi politik perempuan (yang merupakan bagian dari demokrasi representasi). Seperti dikemukakan Lovenduski (2000), representasi politik yang diusung kalangan aktivis dan politisi perempuan setidaknya merepresentasikan tiga elemen penting, yakni mewakili pemilihnya (functional), partai politiknya (ideology) serta konstituen perempuan sebagai identitas (social). Bagaimana mensinergikan ketiganya dalam rekoneksitas tindakan-tindakan politik dengan gerakan sosial perempuan, merupakan tantangan yang harus dijawab kalangan perempuan di tengah-tengah kritik, keraguan, dan bahkan cibiran masyarakat atas kemampuan dan keberdayaan mereka.

Gerakan perempuan harus terus melakukan advokasi dan edukasi kritis pada semua level komunitas perempuan. Beragam perspektif analisis untuk melihat penindasan sistemik yang dialami perempuan harus diperkenalkan, seperti analisis feminis Marxian (untuk membedah penindasan yang dialami oleh buruh perempuan); analisis gerakan feminis Dunia Ketiga (untuk membedah penindasan perempuan dalam konteks kultur, religi, dan bentukbentuk kekerasan negara); atau analisis ekofeminis (untuk mengkaji ketertindasan perempuan dari aspek lingkungan dan sumber-sumber penghidupan alamiah). Beragam perspektif dan strategi perjuangan perempuan yang ada sesungguhnya tak hanya efektif digunakan sebagai alat pencerdasan dan penyadaran, tapi lebih dari itu sebagai instrumen dalam membangun koalisi besar gerakan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, toleransi, dan demokrasi.  

Beragamnya organisasi perempuan yang tumbuh di tanah air harus dilihat secara positif dan diletakkan pada konteksnya, yakni saling mengisi dan melengkapi. Penyatuan banyak kekuatan dalam sebuah koalisi besar gerakan perempuan akan kian mempertinggi posisi tawar kaum perempuan. Nyata, perjuangan untuk mencapai keadilan gender dan mewujudkan keterwakilan politik perempuan di negeri ini sepertinya masih teramat panjang untuk dibuktikan, karena ia menyangkut kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, pengalaman yang relevan, serta visi misi yang tak hanya sejalan dengan partai politik yang diwakilinya, namun juga harus sebangun dengan harapan dan keprihatinan rakyat.

Jika kita meyakini “politik tak bermula dari kebencian, tetapi dari rasa sayang dan nalar untuk membangun bangsa”, maka aspirasi politik perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsa bisa dimaknai sebagai bentuk penguatan demokrasi kita yang selama ini kental beraroma maskulin dengan cirinya yang cenderung arogan, culas, dan agresif. (*)

 

Tidak ada komentar