ARTIKEL : LITERASI DIGITAL SEBAGAI SARANA PENINGKATAN NASIONALISME PADA ERA DIGITAL
PADA ERA DIGITAL
Dosen STIA Satya Negara
Kemajuan pesat teknologi digital saat ini di seluruh
negara-negara membawa berbagai dampak perubahan. Kondisi tersebut juga
berlaku untuk Indonesia yang sedang mempersiapkan diri sebagai negara
ekonomi digital.
Namun, perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, membuat generasi
muda Indonesia menjadi asing, dan seolah tidak peduli dengan lingkungan
sekitarnya. Interaksi sosial yang sebelumnya terjadi secara tatap muka, kini
telah berubah ke arah digital. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang
nilai-nilai kebangsaan dan rasa nasionalisme kepada pemuda agar tidak
melupakan identitas dan sejarah bangsa. Nasionalisme pada zaman dahulu
adalah cerita tentang kepahlawanan yang lebih mementingkan
kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Lalu bagaimana dengan
nasionalisme di era digital saat ini ?
Pada saat ini dilketahui lebih dari 50 persen atau 143 juta orang terutama generasi muda terhubung dengan internet. Maka dari itu nasionalisme generasi muda dalam bidang teknologi harus ada. misalnya, bagaimana inovasi yang dilakukan mampu memberikan dampak ekonomi yang besar, mempermudah dalam berbagi urusan kehidupan, dan mengangkat kedaulatan teknologi bangsa Indonesia. Inovasi yang dilakukan oleh anak muda Indonesia sangat luar biasa. Usahanya juga ikut memikirkan sisi sosial.
Nasionalisme merupakan sebuah sikap yang harus dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di era digital saat ini. Literasi digital diperlukan untuk dapat memupuk sikap tersebut. Fenomena maraknya penyebaran paham radikal di ruang digital terjadi karena masyarakat merasa kehadiran ruang digital bukan merupakan bagian dari realitas. Di sini peran penting literasi digital, kita harus memberikan pemahaman apa yang dilakukan secara fisik seharusnya terefleksikan juga saat beraktivitas di ruang digital.
Berdasarkan hasil studi RAND Europe tentang radikalisme di ruang digital, terdapat beberapa wawasan menarik yang menunjukan sisi negatif ruang digital yang dapat mengancam pertumbuhan nasionalisme. Pertama, ruang digital beserta karakteristiknya dapat digunakan untuk memfasilitasi penyebaran konten-konten yang menghambat pertumbuhan nasionalisme. Kedua, ruang digital bertindak sebagai echo chambers sehingga memudahkan konten radikalisme untuk menemukan target yang sesuai. Ketiga, ruang digital memungkinkan terjadinya percepatan radikalisasi. Pada era digital tentunya nilai-nilai nasionalisme harus ditanamkan melalui literasi digital, agar masyarakat bisa menjadikan pancasila sebagai pembatas dari pemahaman yang menggerus kedaulatan negara.
Ada empat kerangka literasi digital yang dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi yakni digital culture, digital skill, digital ethics, digital safety. Untuk meningkatkan pemahaman daan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila, serta Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari maka digital culture merupakan literasi digital yang digunakan untuk hal tersebut.
Pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen. Hal tersebut dimuat dalam laporan terbaru yang dirilis oleh layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran media sosial We Are Social dalam laporan bertajuk "Digital 2021.
a. Literasi Media
Dewasa ini tidak semua informasi yang disajikan media bermanfaat bagi khalayak. Banyak informasi yang bahkan tidak dibutuhkan oleh khalayak, terutama informasi-informasi yang beredar di media baru. Dengan demikian, untuk menghindari tumpulnya daya kritisisme khalayak, perlu ditanamkan budaya literasi media (Sumadiria, 2014, p. 264).
Literasi media merupakan gabungan dari tiga bagian besar pengetahuan, yaitu kajian media (industri, konten, dan efek media), pemikiran manusia (bagaimana manusia mengatur pesan dan mengkonstruksi makna), serta pedagogi (bagaimana membantu orang untuk mengakses informasi, mengembangkan kemampuan, dan mengedukasi). Media literasi tidak sekadar menjadi persimpangan dari ketiganya, melainkan literasi media adalah keseluruhan area yang mencakup ketiga bidang tersebut (Potter, 2004, p. 23).
Silverblatt, dkk. (2014, p. 4-6) mendefinisikan literasi media melalui tujuh karakter
1. A critical thinking skill about media content, atau pemikiran kritis yang memungkinkan khalayak untuk mengembangkan penilaian yang independen terhadap konten media. Berpikir kritis merupakan dasar dari literasi media. Menurut Silverblatt, dkk (2014, p. 4), kemampuan berpikir kritis dalam konteks literasi media adalah kemampuan berpikir yang memungkinkan individu membuat keputusan sendiri terkait media mana yang dipilih untuk dikonsumsi, serta bagaimana menginterpretasikan informasi-informasi yang diterima dari media. Khalayak harus tahu apa yang dibaca, apa yang ditonton, apa yang didengarkan. Khalayak harus dapat mempertanggungjawabkan apa yang dikonsumsi dari media.
2. An understanding of the process of mass communication, atau pemahaman proses media massa. Jika khalayak memahami komponenkomponen media, prosesnya, dan bagaimana tiap komponen berhubungan satu sama lain, khalayak akan memahami bagaimana media bekerja bagi khalayaknya. Jika kahalayak memahaminya, khalayak akan mengetahui kewajiban apa yang dimiliki media pada publik, hak apa yang dimiliki publik, dan bagaimana komunikasi timbal balik dapat dilakukan dengan media.
3. An awareness of the impact of media on the individual and society, atau kesadaran akan pengaruh media pada individu dan masyarakat. Khalayak harus selalu sadar akan dampak-dampak yang dimiliki media agar media dapat selalu terkendali, bukannya mengendalikan masyarakat.
4. Strategies for analyzing and discussing media messages, atau strategi untuk menganalisis pesan media. Khalayak harus berusaha memahami pesan media sedalam-dalamnya, misalnya hingga memahami alasan peletakan foto, angle foto, dan sebagainya.
5. An understanding of media content as a text that provides insight into our culture and our lives, atau pemahaman terhadap konten media sebagai sarana wawasan budaya dan kehidupan.
6. The ability to enjoy, understand, and appreciate media content, atau kemampuan untuk menikmati, memahami, dan menghargai konten media. Literasi media tidak seharusnya menjadi sesuatu yang menjadikan khalayak mencurigai segala hal dari media. Dapat menikmati dan menghargai konten media juga menjadi bagian dari literasi media.
7. Development of effective and responsible production skills, atau pengembangan keterampilan produksi yang efektif dan bertanggung jawab. Literasi tradisional berasumsi bahwa orang yang bisa membaca tentu bisa menulis. Begitu juga dengan asumsi literasi media baru. Individu yang berliterasi media harus dapat memproduksi pesan media yang bermanfaat, misalnya dalam produksi video blog yang sedang marak dewasa ini.
8. An understanding of the ethical and moral obligations of media practitioners, atau pemahaman mengenai kewajiban etika dan moral para praktisi media. Untuk membuat penilaian atas konten media, sebelumnya khalayak harus memahami aturan-aturan yang berlaku bagi para praktisi media. Misalnya jika ada kekerasan ditampilkan di media tertentu, khalayak harus tahu terlebih dahulu batasan-batasan kekerasan yang ditetapkan dalam media terkait untuk menuntut diturunkannya berita tersebut. Teori terkait literasi media massa ini perlu dipaparkan dalam penelitian ini untuk memberi pemahaman mendasar dan lebih jelas mengenai implementasi literasi media. Lebih lanjut akan dipaparkan konsep literasi media digital secara lebih spesifik sebagai teori yang digunakan untuk pengambilan data dalam penelitian ini.
b. Literasi Digital
Perkembangan teknologi komunikasi juga memunculkan perkembangan literasi penggunanya. Ketika media-media konvensional seperti surat kabar, televisi, atau radio memiliki karakter yang berbeda dengan media digital sebagai media baru, literasi media pada penggunanya juga akan berbeda dengan media konvensional (Guntarto, 2011).
Gagasan mengenai literasi digital bukanlah merupakan hal baru. Mulanya, istilah yang digunakan adalah literasi komputer. Namun, literasi komputer pada masanya hanya diartikan sebagai sebatas seperangkat kemampuan dasar dalam mengopersikan komputer, misalnya kemampuan menggunakan tools dalam perangkat lunak, atau kemampuan mencari dan memperoleh informasi tertentu dengan komputer (Buckingham, 2015, p. 23).
Buckingham (2015, p. 22) mengaitkan literasi digital dapat dengan pemahaman mengenai media digital itu sendiri. Media digital tidak dapat dipahami secara utuh jika penggunaan media digital dianggap sekadar soal mesin dan teknik, atau soal mengunakan perangkat keras dan perangkat lunak. Untuk memahaminya, media digital tidak dapat dianggap hanya sebentuk teknologi, tetapi juga sebentuk budaya. Oleh karena itu, dari Buckingham (2007), dapat dipahami bahwa literasi digital adalah seperangkat kemampuan yang mencakup kemampuan mengakses perangkat-perangkat digital serta pemahaman kritis dalam penggunaanya yang dapat dipetakan melalui representasi, bahasa, produksi, dan audiens. Berikut adalah uraian kerangka konseptual yang disusun Buckingham (2015, p. 25-26) untuk membantu memahami literasi digital:
1 1. Representasi
Dalam poin ini ditekankan bahwa media digital bukan sekadar merefleksikan dunia, tapi merepresentasikan dunia. Media digital memberikan interpretasi tertentu serta pilihan realitas tertentu pada khalayaknya yang kemudian memunculkan nilai-nilai atau ideologi tertentu pula. Pengguna media dianggap harus dapat mengevaluasi informasi-informasi yang diperoleh dengan menilai motivasi penyusun informasi, dengan membandingkannya dengan sumber-sumber informasi lain, serta membandingkannya dengan pengalaman pribadi.
2. Bahasa
Individu dianggap media literate ketika tidak sekadar mampu menggunakan bahasa, tapi juga memahami bagaimana bahasa bekerja, misalnya dalam hal diksi, tata kalimat, dan sebagainya. Tidak hanya harus memahami bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari, tapi individu juga harus memiliki kemampuan analisis untuk menggambarkan fungsi bahasa.
3. Produksi
Selain poin representasi dan bahasa, terdapat pula poin produksi dalam kerangka konseptual ini. Dalam poin ini dipaparkan bahwa literasi juga melibatkan pemahaman mengenai siapa berkomunikasi dengan siapa, dan mengapa komunikasi tersebut terjadi. Generasi masa kini harus menyadari produksi di balik pesan-pesan yang beredar di media, terutama pesan-pesan bersifat komersial agar tidak mudah dipengaruhi. Lebih luas dari itu, tiap individu pengguna media digital juga harus menyadari produksi di balik informasi-informasi nonkomersial dari kelompok-kelompok tertentu yang dewasa ini seringkali menggunakan media digital dengan maksud persuasi atau mempengaruhi khayalak.
4. Audiens
Masih sejalan dengan poin produksi, poin ini menekankan kesadaran pengguna media digital sebagai audiens atau khalayak. Individu pengguna media digital harus memahami bagaimana media menjadikan audiensnya sebagai target dan bagaimana audiens dari beragam kelompok meresponnya. Hal penting lainnya, pengguna media digital juga harus menyadari bagaimana mendapat akses ke situs tertentu, bagaimana pengguna diposisikan di dalamnya, dan bagaimana informasi dari tiap pengguna ‘dikumpulkan’ di dalam jaringan internet. 28
Ketika literasi media paparan Silverblatt, dkk. (2014, p. 4-6) dan Baran (2014, p. 21-23) mencakup pemahaman tentang konten dan medianya, serta komunikasi yang terjadi di dalam media maupun antara media dengan khalayak, konsep literasi digital ini mencakup juga kemampuan penggunaan perangkat digital, hingga komunikasi yang terjadi antar khalayak pengguna media digital. Konsep literasi digital dari Buckingham (2015) ini kemudian digunakan sebagai dasar teori pembuatan alat ukur untuk mengukur literasi media digital pada penelitian ini.
c. Digital Natives dan Immigrants
Autry dan Berge (2011, p. 460-461) membagi digital natives dan immigrants berdasarkan generasi. Generasi Y (lahir antara tahun 1982 hingga 1995) dan seterusnya masuk ke dalam kategori digital natives, sedangkan pre-generasi Y masuk dalam kategori digital immigrants. Seperti halnya bahasa, Generasi Y dianggap sebagai ‘native speakers’ dari bahasa-bahasa teknologi digital seperti komputer, internet, dan sebagainya. Mereka adalah generasi pertama yang tumbuh bersama teknologi digital. Sejak lahir, orang-orang yang termasuk generasi Y hidup dikelilingi teknologi seperti komputer, digital music player, telepon genggam, dan berbagai perangkat lain di era digital (Prensky, 2001, p. 1).
Dari sisi pendidikan, pre-generasi Y masih berada di lingkungan pendidikan dengan kelas konvensional yang mengandalkan pengajar dan materi-materi pelajaran dalam bentuk cetak. Pengajar dan salinan cetak tersebut merupakan sumber informasi utama mereka untuk belajar (Autry & 29 Berge, 2011, p. 462). Ketika pre-generasi Y belajar dengan strategi belajar yang linear, generasi Y dan seterusnya belajar dengan interaktif dan independen. Mereka tidak lagi hanya menerima pelajaran dari pengajar secara linear, tapi lebih cocok dengan diskusi, berargumen, bertukar informasi dan sudut pandang. Mereka tidak lagi bergantung pada sumber informasi salinan cetak, tapi dapat dengan mudah mencari informasi di internet yang tak kenal ruang dan waktu.
Menurut Autry dan Berge (2011, p. 463), digital immigrants cenderung mengembangkan pemikiran dengan kecepatan yang lebih rendah untuk menerima informasi pembelajaran. Generasi yang tidak tumbuh bersama teknologi ini memroses informasi secara linear, bertahap dalam proses. Kebalikannya, digital natives dapat menerima informasi dengan cepat bahkan sambil melakukan sejumlah hal sekaligus (multi-tasking). Dalam paparan tersebut juga dinyatakan bahwa jika digital natives tidak secara terus-menerus dirangsang pemikirannya, mereka seringkali menjadi bosan dan sulit berkonsentrasi dibandingkan jika mereka terus-menerus menerima informasi dari berbagai sumber sekaligus.
Konsep digital natives dan digital immigrants digunakan untuk memaparkan sejumlah karakteristik dan pemahaman mendasar atas pengelompokan generasi yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini akan membandingkan literasi media digital serta tingkat pengetahuan mengenai hoaks pada digital natives dan digital immigrants.
d. Pemahaman Masyarakat Informasi Digital
Masalah yang jelas dalam pemahaman masyarakat informasi digital adalah sejauh mana definisi masyarakat informasi mendapat tempat dan porsi yang tepat dalam seluruh konteks perkembangan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat informasi melekat dalam setiap tahapan masyarakat yang ada. Adalah sebuah kenyataan bahwa setiap komunitas sosial mempunyai kebutuhan dan tuntutan tindakan komunikatif informatif. Hanya memang perkembangan dinamika sejarah kemanusiaan menempatkan komunikasi dalam konteks masyarakat informasi industrial yang dipicu dan dibantu oleh teknologi yang mampu memampatkan keterbatasan ruang dan waktu. Seperti sudah dikatakan bahwa, masyarakat informasi merupakan masyarakat yang melihat bahwa produksi, proses dan distribusi informasi sebagai bagian dalam seluruh aktivitas sosial ekonomi.
Informasi dalam konteks ini dapat dikatakan sebagai bagian dari ”kapital”. Konstelasi kapital dan informasi lebih dilihat sebagai proses komodifikasi informasi sehari-hari. Artinya, masyarakat melihat bahwa modal ekonomi-sosial didasarkan pada informasi, sehingga informasi telah menjadi komoditas. Itulah sebabnya, dalam masyarakat pasca industri yang banyak ditandai oleh komodifikasi informas komoditas utamanya terletak pada produksi, distribusi dan konsumsi pengetahuan. Proses komodifikasi informasi dalam masyarakat informasi kontemporer dibantu oleh teknologi informasi. Teknologi dan media informasi pada akhirnya mempengaruhi kinerja dan pola komunikasi. Salah satu ciri dinamika teknologi informasi adalah ciri konvergensi.
e. Masyarakat Internet
HootSuite melaporkan bahwa pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun diketahui memiliki beberapa perangkat elektronik berbeda, termasuk telepon genggam (baik smartphone maupun non-smartphone), laptop/PC, tablet, smartwatch, dan sebagainya. Dari berbagai jenis perangkat tersebut, smartphone menjadi perangkat yang paling populer. Pengguna internet Indonesia (usia 16 hingga 64 tahun) yang memiliki telepon genggam adalah 98,3 persen. Tak ayal, telepon genggam juga tampil menjadi perangkat favorit pengguna internet untuk mengakses internet. Tercatat ada 96,4 persen atau 195,3 juta orang Indonesia yang mengakses di internet melalu ponsel genggamnya. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Masih di laporan yang sama, pengguna internet Indonesia rata-rata menghabiskan waktu selama 8 jam 52 menit untuk berselancar di internet.
Aktivitas berinternet yang paling digemari oleh pengguna internet Indonesia ialah bermedia sosial. Saat ini, ada 170 juta jiwa orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata dari mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial. Selain media sosial, aktivitas lain yang sering dilakukan oleh pengguna internet Indonesia ialah: menonton televisi (baik streaming atau broadcast) selama 2 jam 50 menit; membaca berita dari perusahaan media (online atau cetak) selama 1 jam 38 menit; mendengarkan musik di layanan streaming selama satu jam 30 menit. Konten berbasis audio, seperti podcast dan radio, menjadi konten yang paling sedikit diakses oleh pengguna internet Indonesia. Rata-rata pengguna internet Indonesia hanya menghabiskan waktu tak lebih dari 44 menit untuk mendengarkan radio atau podcast.
Di samping itu, menurut laporan Digital 2021, hampir semua pengguna internet Indonesia atau sekitar 98,5 persen menonton video online setiap bulannya. Sedangkan sebanyak 74,3 persen pengguna internet Indonesia juga menonton video blog (vlog) setiap bulannya. Dari segi kecepatan internet, rata-rata kecepatan download internet seluler Indonesia mencapai 17,2 mbps. Sedangkan rata-rata kecepatan internet fixed broadband di Tanah Air mencapai 23,32 mbps.
Berikut ini adalah sepuluh (10) negara di Asia yang dengan jumlah pengguna internet terbanyak pada bulan Maret 2021 :
Gambar 1
10 Negara Asia dengan Jumlah Pengguna Internet Terbanyak (Maret 2021)
Sumber : Dkatadata-BPS
Banyaknya pengguna smartphone dan juga internet dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:
1. Semakin kompleksnya kebutuhan informasi. Adanya keinginanmasyarakat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di belahan dunia yang lain, dan dengan menggunakan internet, hal ini menjadi semakin mudah.
2. Internet menjadi bagian dari sarana pendidikan dan pembelajaran. Proses belajar mengajar semakin terbantu dengan adanya perkembangan teknologi internet.
3. Internet dan penggunaan smartphone membuka jaringan bisnis yang lebih luas dan menjadikan bisnis lebih efektif.
4. Internet dan penggunaan smartphone merupakan alat komunikasi yang efektif, mampu menjangkau massa yang lebih luas dan cepat.
Livingstone (2004) dalam studinya menyatakan terdapat 4 komponen yang membentuk pendekatan dengan basis keterampilan dalam literasi media yaitu Pertama, akses, merupakan proses dinamis dan sosial, tindakan yang terus menerus sehingga dapat dilihat kualitas berkelanjutan dari layanan penyediaan akses dan konten media. Dengan adanya media baru, penyediaan akses di bidang pendidikan, partisipasi dan juga budaya dibutuhkan untuk lebih terhubung dengan konteks sosial masyarakat. Kedua, analisis. (Eco, 1979) dalam Livingstone (2004) menjelaskan hubungan yang berkelanjutan dan memuaskan dengan teks-teks simbolik terdapat pada kompetensi analitis, dimana pengguna harus kompeten dan memiliki motivasi akan tradisi dan nilai-nilai budaya yang relevan. Sejalan dengan itu (Bazalgette, 1999) dalam Livingstone (2004) menjelaskan skema analisis mulai dari agensi media, kategori media, teknologi media, bahasa media, khalayak media dan representasi media. Enam tahapan skema ini merupakan tahapan analisis awal yang efektif digunakan untuk media baru. Ketiga, evaluasi. Kemampuan dalam mengevaluasi konten memerlukan keterampilan yang mumpuni karena melibatkan evaluasi kritis mengenai pengetahuan umum dan juga konteks politik, ekonomi, sosial juga budaya dari konten yang didapatkan. Dan yang keempat, konten. Konten merupakan materi hasil produksi berdasarkan pengalaman pembuatnya. Pembuatan konten yangprofesional menyampaikan ide, gagasan, aspirasi dan kreatifitas sebagai bentuk kontribusi dan partisipasi budaya di masyarakat. Dengan berkembangnya teknologi, membuat konten menjadi lebih mudah karena didukung pula dengan tersedianya platform yang mudah digunakan, kamera digital high definition sehingga gambar yang dihasilkan jauh lebih berkualitas, namun dengan segala kemudahan yang ada, konsekuensinya ialah pembuat konten harus mampu membangun ikatan antara pembuat dan penerima konten dimana harus ada konteks kebermanfaatan untuk pembelajaran, manifestasi budaya dan kontribusi masyarakat.
Jumlah informasi yang tersedia dalam berbagai bentuk konten di banyak media membuat masyarakat kita kewalahan dalam menerima informasi. Segala sesuatu yang digital sebetulnya hanya merupakan alat, hasil peradaban, teknologi yang dibuat oleh manusia. Maka meski bagaimanapun gempuran konten digital yang terjadi saat ini, kita masih bisa melakukan tindakan yang bermakna, salah satunya dengan menjadi cerdas, kreatif dan produktif dalam literasi media. Salah satunya ketika menggunakan media sosial, maka diperlukan etika berinternet yang menjunjung asas kehati-hatian serta selalu beritikad baik dalam kegiatannya, seperti:
1. Menulis dengan ejaan yang baik dan benar. Memperhatikan penggunaan huruf besar dan kecil sesuai dengan aturan penulisan dalam Bahasa Indonesia. Contohnya penggunan huruf kapital akan diasosiasikan dengan kemarahan ketika itu dipublikasikan di salah satu platform media sosial, sehingga akan menimbulkan asumsi-asumsi negatif terhadap si pembuat konten.
2. Memastikan setiap sumber informasi yang diterima. Melakukan pengecekan kembali dan mengkonfirmasi bahwa berita yang didapatkan bukan berita hoax atau spam. Kredibilitas kita sebagai individu akan menjadi dipertanyakan apabila kita sharing info tanpa saring terlebih dahulu.
3. Tidak mengumbar pesan pribadi ke ranah publik. Meskipun menggunakan sosial media, sebaiknya informasi-informasi yang berada pada ranah pribadi, bersifat privasi disampaikan lewat private message.
4. Apabila kita mengupload sebuah post yang sumbernya berasal dari tulisan orang lain, selalu cantumkan sumber informasi aslinya. Karena apabila tidak, maka kita tidak menghargai orang lain dan melakukan tindakan plagiarisme.
5. Menghindari perdebatan akibat perbedaan pendapat yang akan berujung pada perselisihan. Contoh yang banyak terjadi ialah akibat dari penggunaan kalimat yang menyinggung SARA atau kalimatkalimat yang tidak sopan.
6. Menggunakan teknologi, media sosial dengan kreatif yang mampu menciptakan kebaruan yang bermanfaat dan memiliki nilai tambah. Contohnya seperti Penyanyi Raisa yang memulai karir menyanyinya dengan mengunggah videonya di Youtube, atau Walikota Bandung, Ridwan Kamil yang menyosialisasikan program-program dan bekomunikasi dengan warganya melalui twitter.
(Jolls dan Thoman, 2008) dalam Koltay, 2011 menjelaskan bahwa saat ini terjadi tingkat konsumsi media yang tinggi yang menyebabkan masyarakat mulai jenuh dengan media. Karena dalam kehidupannya, masyarakat menjadi sangat terpengaruh oleh persepsi, keyakinan dan sikap yang ditampilkan media, sehingga muncul kebutuhan informasi yang lebih efektif yang ditunjang dengan komunikasi yang lebih tereksplorasi. Literasi media melibatkan pemahaman, cara menafsirkan, tingkat analisis kritis dan penyusunan kesimpulan dari teks untuk menjadi subjek penelitian pada berbagai bidang mulai dari komunikasi, sastra, budaya, ekonomi, sejarah, pengetahuan umum dan tentunya kajian media.
Livingstone (2004) dalam studinya menyatakan bahwa dalam perkembangan media baru, termasuk diantaranya internet dan media sosial, dibutuhkan upaya untuk menganalisis teks multimedia, interaksi, keragaman budaya, hingga estetika visual. Dapat dilihat dari 7 kategori media sosial dengan karakteristik yang spesifik, yaitu:
1. Jejaring sosial, memungkinkan pengguna untuk membuat dan mengelola halaman sendri, berbagi konten dan membangun hubungan pertemanan. Contoh: Facebook.
2. Blog, lebih dikenal sebagai jurnal online, dimana pengguna bisa mencatat berbagai hal yang bersifat informasi, ide/gagasan, buah pemikiran, hasil pandangan atau bahkan pengalaman pribadi. Contoh: Kompasiana
3. Wikis, memungkinkan pengguna untuk melakukan penambahan, pengurangan, edit data/informasi dan kemudian menyimpannya kembali. Contoh: Wikipedia.
4. Forum, media komunitas online, berupa tempat diskusi secara online, biasanya bagi orang-orang yang memiliki hobi/minat/bakat yang sama untuk sharing atau bahkan turut menciptakan tren/wacana publik. Contoh: Kaskus.
5. Sharing konten, memberikan kemungkinan pengguna untuk berbagi dan mengelola berbagai jenis konten seperti foto dan video. Contoh: Youtube
6. Microblogging, perpaduan antara jejaring sosial dengan blog dalam skala konten yang lebih kecil yang mengutamakan kecepatan saat berbagi konten. Contoh: Twitter.
7. Media sosial komersil, digunakan untuk menjual konten seperti dalam bentuk musik atau video. Contoh: Itunes.(Nasrullah, 2015)
Dari ketujuh kategori media sosial diatas, konten yang dianalisis berfokus pada pesan yang perlu dipahami secara sinergis dengan teknologi. Jendela informasi yang semakin terbuka secara otomatis juga memberikan saluran yang lebih luas untuk masyarakat dalam membuat konten dan menerima informasi. Dalam literasi media, tahapan mulai dari identifikasi, perancangan sistem untuk membantu membuat pemahaman sehingga dapat menghasilkan makna dilihat dari gambar/kata-kata/suara yang terdapat dalam konten. (Bawden, 2006) dalam Koltay, 2011 mendeskripsikan literasi digital sebagai berikut:
“Digital literacy touches on and includes many things that it does not claim to own. It encompasses the presentation of information, without subsuming creative writing and visualization. It encompasses the evaluation of information, without claiming systematic reviewing and metaanalysis as its own. It includes organization of information but lays no claim to the construction and operation of terminologies, taxonomies and thesauri. (2008: 26)”
Literasi digital pada umumnya terbatas pada penggunaan media yang ditunjang dengan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan deskrispi diatas, Bawden menjelaskan bahwa literasi digital mencakup banyak hal mulai dari pengorganisasian, penyajian informasi dan visualisasi hingga evaluasi informasi. Literasi digital meliputi berbagai literasi sehingga menjadi lebih kompleks. Sama halnya dengan literasi media, literasi digital juga memerlukan kemampuan menganalisis dan evaluasi secara kritis sehingga memperoleh pemahaman yang berkualitas.
Dalam literasi digital, pesan di media dikonstruksi sedemikian rupa sehingga mampu berfungsi maksimal dalam situasi komunikasi yang lebih kompleks sekalipun. Literasi digital memiliki skala yang lebih luas dan biasanya membahas isu penting. Pendidikan literasi digital dapat dimulai dari mengasah keterampilan dalam membaca konten, dengan rajin membaca konten, maka penggunaan literasi untuk pemahaman konten akan lebih kritis. Banyaknya konten di internet misalnya, selain memberikan banyak kemudahan namun juga berdampak negatif bagi para penggunanya. Dengan tingginya jumlah pengguna internet di Indonesia, maka dibutuhkan tata cara atau etika yang menjadi pedoman bagi para pengguna dalam menggunakan internet. Indonesia sebagai negara yang menjungjung tinggi agama dan berbudaya memiliki norma-norma seperti:
1. Sopan santun. Dalam berinternet gunakanlah bahasa yang sopan supaya tidak ada orang yang tersinggung. Mengupload foto atau video yang sopan, tidak mengandung unsur SARA atau pornografi dan menghormati privasi orang lain.
2. Ramah tamah. Internet dapat dimanfaatkan untuk memperpanjang silaturahmi, menambah saudara. Istilah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat memang banyak terjadi, namun sebagai pengguna yang cerdas alangkah lebih baik apabila internet digunakan dengan lebih bijak.
3. Gotong royong. Norma gotong royong telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Internet dapat dimanfaatkan untuk membantu orang lain, misalnya membuat dan menyebarkan tulisan untuk membantu orang yang membutuhkan. Atau apabila kita memiliki keterampilan di bidang software, kita bisa membuat aplikasi yang dapat mempermudah aktivitas pengguna.
4. Toleransi tinggi. Dengan beraneka ragam suku, agama dan ras yang ada di negara ini, maka kita perlu memiliki toleransi yang tinggi. Menghargai setiap perbedaan dan keberagaman setiap individu yang ada di dunia maya, tidak mudah terpancing dengan isu-isu SARA yang belum jelas kebenarannya.
5. Tabayyun, artinya mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Dibutuhkan kehatihatian akan semua informasi yang diterima, apabila diperlukan carilah referensi sumber berita yang dapat dipercaya.
f. Literasi Digital Sebagai Sarana Peningkatan Nasionalisme Pada Era Digital
Secara umum, literasi digital sering kita anggap sebagai kecakapan menggunakan internet dan media digital. Namun begitu, acap kali ada pandangan bahwa kecakapan penguasaan teknologi adalah kecakapan yang paling utama. Padahal literasi digital adalah sebuah konsep dan praktik yang bukan sekadar menitikberatkan pada kecakapan untuk menguasai teknologi. Seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab. Dengan diluncurkannya Program Literasi Digital Nasional, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa “Infrastruktur digital tidak berdiri sendiri; saat jaringan internet sudah tersedia, harus diikuti kesiapan-kesiapan penggunanya agar manfaat positif internet dapat dioptimalkan untuk membuat masyarakat semakin cerdas dan produktif.”
Menanamkan budaya literasi bagi setiap individu bermanfaat untuk menambah ilmu serta keterampilan guna bersaing secara lokal maupun global. Literasi tidak hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikir kritis, dan peka terhadapi lingkungan sekitar. Literasi sangat penting bagi seluruh masyarakat. Jika seseorang memiliki ketrampilan literasi maka ia dapat memanfaatkan media digital untuk hal positif. Bisa untuk aktivitas produktif, kesenangan, pengembangan diri dan bukan untuk tindakan konsumtif maupun kegiatan destruktif.
Digital Literacy bukan sekadar era, melainkan sudah menyatu dengan kemampuan literasi itu sendiri tentang cara mendapatkan informasi daring secara bijak dan beretika. Internet, media sosial (medsos) dan alat-alat digital menjadi kebutuhan primer masyarakat modern. Era digital harus ada konversi makna dari manual ke digital. Lipton dan Hubble (2016:13) menjelaskan literasi tidak sekadar kemampuan elementer membaca, menulis dan berhitung. Literasi dalam pengertian modern mencakup kemampuan berbahasa, berhitung, memaknai gambar, melek komputer, dan berbagai upaya mendapatkan ilmu pengetahuan. Artinya, aktivitas dan usaha mendapatkan ilmu pengetahuan adalah bentuk literasi. Bisa menonton televisi, membaca berita online, atau menonton video di Youtube. Dengan konsumsi internet berlebihan, mengapa kualitas keaksraan di Indonesia masih minim? Tentu ada yang salah.
Era banjir informasi harus menjadikan masyarakat selektif memilih informasi. Kualitas pendidikan dan jabatan tidak menjadi jaminan melek literasi digital. Literasi harus direvolusi untuk mencerdaskan masyarakat milenial. Perlu juga percepatan program akselerasi literasi dengan beberapa langkah :
1. Pemahaman paradigma literasi tidak hanya membaca dan bahan bacaan bukan hanya manual, melainkan juga digital. Literasi tidak sekadar membaca dan menulis, namun juga keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan berbentuk cetak, visual, digital, dan auditori.
2. Pemenuhan akses internet di semua wilayah. Meski di ini kita berada di “benua maya”, namun masih banyak wilayah di Indonesia yang belum bisa mengakses Internet. Dengan menyediakan akses Internet, maka literasi digital akan semakin mudah. Suatu tempat yang tidak ada perpustakaannya juga bisa diganti e-library.
3. Implementasi konsep literasi di semua lembaga pendidikan. Kemendikbud (2017:2) merumuskan gerakan literasi secara komprehensif. Yaitu literasi dasar (basic literacy), literasi perpustakaan (library literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy) dan literasi visual (visual literacy).
4. Menumbuhkan rasa cinta pada ilmu pengetahuan, kebenaran dan fakta. Hal itu tentu harus terwujud dalam kegiatan membaca yang diimbangi validasi, baik membaca digital maupun manual.
5. Masyarakat harus mengubah gaya hidupnya yang berawal dari budaya lisan, menjadi budaya baca. Rata-rata masyarakat tidak membaca karena faktor kesibukan mencari nafkah, tidak suka membaca, dan tidak adanya bahan bacaan.
Literasi digital akan cepat dicapai ketika masyarakat bisa mengubah pola pikir. Sikap konsumtif terhadap internet harus diimbangi perubahan cara berpikir dan melek literasi secara komprehensif. Jika tidak, masyarakat akan menjadi korban internet yang dipenuhi pornografi, kriminalitas, berita hoax dan fake.
Gambar 2
Digital Literacy and Safety Skill
Literasi digital banyak menekankan pada kecakapan pengguna media digital dalam melakukan proses mediasi media digital secara produktif, dan ada beberapa kompetensi dasar literasi digital yaitu meliputi akses, seleksi, paham, dan analisis.” Terkait hal itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar terhindar dari serang siber yang sering terjadi di ranah digital. Untuk itu diperlukan penanaman paham kebangsaan kepada masyarakat dalam keterkaitan pengunaan literasi digital dalam kehidupan sehari-hari. Diperlukan nilai-nilai berdasarkan Pancasila yang dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa khususnya sebagai warga negara Indonesia. Kaitan antara literasi digital dengan demokrasi dan transparansi adalah dengan semakin berkembangnya teknologi, maka akan semakin membawa perubahan di berbagai lapisan kehidupan, termasuk cara kita berinteraksi dan berpendapat. Toleransi dan multikulturalisme tumbuh dengan kesadaran bahwa keanekaragaman suku, agama, ras, dan bahasa terjadi karena sejarah dengan semua faktor yang mempengaruhinya. Dengan semakin terpaparnya pengguna media digital kepada keberagaman yang ada di internet, sikap toleransi merupakan sebuah kewajiban, sehingga mendukung kehidupan sosial yang berdampingan secara damai.
Pentingnya pendidikan karakter, karena turut memberikan andil ayng kuat dalam penanaman nilai-nilai kebangsaan pada masyarakat digital Indonesia. “Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika juga perlu ditegakkan sebagai landasan kecakapan digital, mengingat Indonesia adalah negara yang sangat heterogen atau majemuk namun tidak terpolar (tidak terpecah bela atau terpisah secara ekstrim), sehingga potensi dampak konflik antara suku cenderung rendah,” ia sampaikan. Cara melandasi aktivitas di ruang digital berdasarkan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah dengan cara mendukung toleransi keberagaman, mempriokominforitaskan cara demokrasi, mengutamakan Indonesia, dan menginisiasi cara kerja gotong-royong.
Pada era digital tentunya nilai-nilai nasionalisme harus ditanamkan melalui literasi digital, agar masyarakat bisa menjadikan pancasila sebagai pembatas dari pemahaman yang menggerus kedaulatan negara. Tujuh keahlian yang diperlukan dalam Literasi Digital, yaitu : be save in digital enviroment, applly information, find information, use digital tools, evaluate information, manage digital identity, understand social responsibility.
Kerangka kerja Literasi Digital berdasarkan kerangka yang dibuat oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, terdiri dari 4 keahlian seperti yang telihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 3
Kerangka Literasi Digital
Digital skills adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari, digital culture adalah kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa dan membangun wawasan kebangsaan, nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, digital safety adalah kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari dan digital ethics adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital. Dalam kerangka literasi digital yang perlu menjadi ditingkatkan dalam penanaman iawa nasionalisme bagi masyarakat Indonesia, maka ada empat dasar yang akan ditanamkan dalam digital culture, yakni:
1. Pengetahuan dasar akan Pancasila serta Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan kehidupan berbudaya, berbangsa, dan berbahasa Indonesia;
2. Pengetahuan dasar membedakan informasi mana saja yang tidak sejalan dengan nilai pancasila pada mesin telusur;
3. Pengetahuan dasar mengetahui pentingnya multikulturalisme dan kebhinekaan, serta memahami cara melestarikan bahasa daerah, seni, dan budaya dalam ruang digital;
4. Pengetahuan dasar yang mendorong perilaku mencintai produk dalam negeri, serta memahami hak atas akses kebebasan berekspresi dan hak atas kekayaan intelektual di dunia digital.
Pada karakteristiknya, digital society tidak menyukai aturan yang mengikat. Mereka senang mengekspresikan diri, belajar bukan dari instruksi melainkan dengan mencari dan bereksplorasi, cenderung tidak ragu untuk men-download dan upload. Oleh karena itu, ketika berinteraksi di ranah digital, bermainlah dan belajarlah dengan aman. (*)
Tidak ada komentar